Ku lumat utuh keping-keping kepahayan meng-amnesiakan otakku. Mengiyakan segala bentuk lupa sebelum lekuk-lekuk tubuhmu; kembali bernostalgia dalam fikirku.
Kita memang sempat,
Merubah ke-abu-abuan menjadi kenangan lekat; tertambat; di palung jiwa terhangat. Hingga kita lupa cara melepas jeratan kuat ketika hati mulai terikat.
Padahal, jika terlampau jauh jiwa kita berjalan, hanyalah gamang yang ada dalam bayang kenang. Yang akan semakin menukik-nukik hingga kita semakin tak mampu menampik.
Pada proses meng-amnesiakan otakku,
Ku habiskan waktu untuk membekukan rindu, medamba pada sang senja menghapus setiap gambar jelas terlukis kala jingga menjelma; atau kepada bulir hujan yang jatuh tak terelakkan.
Karena ketika itu; bayangmu menjadi petir menyambar-nyambar tanpa akhir.
Kita memang pernah,
Pernah, memuja rasa gelisah
Gelisah, ketika raga berpisah
Berpisah, setelah jamuan jingga
Jingga, yang tenggelam bersama cerita kita
“Lepaskan sebelum semua menjelma menjadi kutukan Tuhan. Ketika kau tak mampu mem-mampuskan satu per-satu rasa yang kuat menghantam.” Musnahlah! Musnah! Bersama senja aku meng-amneisakan namamu-
[-V, ’17-]
Tinggalkan komentar