Senja tumbang di ufuk barat, menjelma menjadi satu parodi indah kala riak tak lagi berdecak. Aku bertandang, terseok pada jalan penuh polusi; tergopoh berjalan tanpa kawan tanpa teman. Aku di mana? Sedangkan jalanan sudah terlalu jinak untuk diri yang mencari secarik bahagia; tanpa definisi.
Jatuh
Bangun
Terseret
Terseok
Aku ini siapa?
Aku di mana?
Datang dari sebrang jalan
Pergi tanpa berpamit pulang
Tiba-tiba aku melemah, jatuh
Tertawan sekoloni kehilangan yang mengutukku menjadi desau angin tanpa suara.
Sstt …
Lirih …
Lirih sekali
Angin ini kembali merupa bak angan yang belum terlaksana. Menagih akan janji-janji ucap kala senja di taman kota.
Bukankah sudah aku berkata dengan berkali hingga mulutku tercekat: aku tak bisa terus bertahan dengan otak yang kian memucat.
Aku rindu kebebasan berjalan tanpa beban; bercinta dengan diri sendiri hingga lupa duniaku tak sempit lagi. Ini bukan aku yang kau temui, ini bukan aku yang dulu kau cintai.
Aku mulai melemah
Menapak jalan penuh lintah
Payah …
Aku ingin menyerah
Berdendang tanpa musik
Demi hati yang tengah terusik
Aku hanya menghibur raga
Tanpa bisa berbuat apa-apa
Di jalan penuh polusi taman kota
Aku bercengkrama dengan senja
Fitri, Maret ’17
Tinggalkan komentar