Masih tentang perbincangan kita tempo hari dipersimpangan jalan sebelum magrib membungkus sudut kota.
Sayup saya dengar derap kaki jenjangmu mengambil lagkah seribu mengejar raga saya yang (mungkin) tak akan lari kemana.
“Takutkah waktu itu kau kehilangan saya?”
Dari satu meter saya jatuhkan pandangan pada sosok tegap, dengan senyum manis menunjukkan jejeran gigi putih dan rambut cepak.
Diam … saya hanya diam dan tersenyum dengan tatapan penuh damba setelah sosokmu semakin mendekat. Degup degap jantung tak lagi bisa terulas oleh kata atau ucap keras. Hanya mampu membekam demi meredam jatung yang seakan melompat jika tak dicengkram rusuk erat.
Itu hanya rentetan reminisensi,
Ketika bus kota menyisir didepan saya, kau telah sirna ‘ntah kemana.
Bagai orang gila di pinggir marga, senyumku kecut ciut seakan lesap seketika itu juga. Hanya banyangmu yang tinggal di sana, hanya senyummu yang masih tercecer di lantai trotoar.
Satu … dua … saya ayunkan kaki mendekati tumpukan masa lalu yang masih mengintimidasi. Hingga akhirnya, saya jatuh terhuyung setelah seklabat fatamorgana kembali terlihat di depan mata. Dan saya tersadar, kau telah buyar di hantam waktu. Kau telah sirna di batas nyataku.
Hilang, lenyap, melesap dalam sekedipan netra, sebelum saya mengucap sampai jumpa.
Tentang trotoar yang masih menyimpan cerita, meski kita tak lagi sekata.
Tinggalkan komentar